Untukmu yang Mengharamkan Kata “Jangan”: Adakah Engkau Telah Melupakan Kitabmu?

Image

“Al-Qur’an itu kuno,  Bu, konservatif, out of dated!. Kita telah lama hidup dalam nuansa humanis, tetapi Al-Qur’an masih menggunakan pemaksaan atas aturan tertentu yang diinginkan Tuhan dengan rupa perintah dan larangan di saat riset membuktikan kalau pemberian motivasi dan pilihan itu lebih baik. Al-Qur’an masih memakai ratusan kata ‘jangan’ di saat para psikolog dan pakar parenting telah lama meninggalkannya. Apakah Tuhan tidak paham kalau penggunaan negasi yang kasar itu dapat memicu agresifitas anak-anak, perasaan divonis, dan tertutupnya jalur dialog?“ Katanya sambil duduk di atas sofa dan kakinya diangkat ke atas meja.


Pernahkan Bapak dan Ibu sekalian membayangkan kalau pernyataan dan sikap itu terjadi pada anak kita, suatu saat nanti?


Itu mungkin saja terjadi jika kita terus menerus mendidiknya dengan pola didikan Barat yang tidak memberi batasan tegas soal aturan dan hukum. Mungkin saja anak kita menjadi demikian hanya gara-gara sejak dini ia tidak pernah dilarang atau mengenal negasi ‘jangan’.


Saat ini, sejak bergesernya teori psikoanalisa (Freud dan kawan-kawan) kemudian disusul behaviorisme (Pavlov dan kawan-kawan), isu humanism dalam mendidik anak terus disuarakan. Mereka membuang kata “Jangan” dalam proses mendidik anak-anak kita dengan alasan itu melukai rasa kemanusiaan, menjatuhkan harga diri anak pada posisi bersalah, dan menutup pintu dialog. Ini tidak menjadi masalah karena norma apapun menghargai nilai humanisme.


Tidak perlu ditutupi bahwa parenting telah menjadi barang dagangan yang laris dijual. Ada begitu banyak lembaga psikologi terapan, dari yang professional sampai yang amatiran dengan trainer yang baru lulus pelatihan kemarin sore. Promosi begitu gencar, rayuan begitu indah dan penampilan mereka begitu memukau. Mereka selalu menyarankan, salah satunya agar kita membuang kata “jangan” ketika berinteraksi dengan anak-anak. Para orang tua muda terkagum-kagum member applausa. Sebagian tampak berjilbab, bahkan jilbab besar. Sampai di sini [mungkin] juga sepertinya tidak ada yang salah.


Tetapi pertanyaan besar layak dilontarkan kepada para pendidik muslim, apalagi mereka yang terlibat dalam dakwah dan perjuangan syariat Islam. Pertanyaan itu adalah “Adakah Engkau telah melupakan Kitabmu yang di dalamnya berisi aturan-aturan tegas? Adakah engkau lupa bahwa lebih dari 500 kalimat dalam ayat Al-Qur’an menggunakan kata “jangan”?


Salah satu contoh terbaik adalah catatan Kitabullah tentang Luqman Al-Hakim, Surah Luqman ayat 12 sampai 19. Kisah ini dibuka dengan penekanan Allah bahwa Luqman itu orang yang Dia beri hikmah, orang arif yang secara tersirat kita diperintahkan untuk meneladaninya (“walaqod ataina luqmanal hikmah..” dst)


Apa bunyi ayat yang kemudian muncul? Ayat 13 lebih tegas menceritakan bahwa Luqman itu berkata kepada anaknya “Wahai anakku, JANGANLAH  engkau menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik itu termasuk dosa yang besar”.


Sampai pada ayat 19, ada 4 kata “laa” (jangan) yang dilontarkan oleh Luqman kepada  anaknya, yaitu “laa tusyrik billah”, “fa laa tuthi’humaa”, “Wa laa tusha’ir khaddaka linnaasi”, dan “wa laa tamsyi fil ardli maraha”


Luqman tidak perlu mengganti kata “jangan menyekutukan Allah” dengan (misalnya) “esakanlah Allah”. Pun demikian   dengan “Laa” yang lain, tidak diganti dengan kata-kata kebalikan yang bersifat anjuran.


Adakah pribadi psikolog atau pakar parenting pencetus aneka teori ‘modern’ yang melebihi kemuliaan dan senioritas Luqman?  Tidak ada. Luqman bukan nabi, tetapi namanya diabadikan oleh Allah dalam Kitab suci karena ketinggian ilmunya. Dan tidak satupun ada nama psikolog kita temukan dalam kitabullah itu.


Membuang kata “jangan” justru menjadikan anak hanya dimanja oleh pilihan yang serba benar. Ia tidak memukul teman bukan karena mengerti bahwa memukul itu terlarang, tetapi karena lebih memilih berdamai. Ia tidak sombong bukan karena kesombongan itu dosa, melainkan hanya karena menganggap rendah hati itu lebih aman baginya. Dan, kelak, ia tidak berzina bukan karena takut dosa, tetapi karena menganggap bahwa menahan nafsu itu pilihan yang dianjurkan orang tuanya.


Anak-anak hasil didikan tanpa “jangan” berisiko tidak punya “sense of syariah” dan keterikatan hukum. Mereka akan sangat tidak peduli melihat kemaksiyatan bertebaran karena dalam hatinya berkata “itu pilihan mereka, saya tidak demikian”. Mereka bungkam melihat penistaan agama karena otaknya berbunyi “mereka memang begitu, yang penting saya tidak melakukannya”.


Itulah sebenar-benar paham liberal, yang ‘humanis’, toleran, dan menghargai pilihan-pilihan.


Jadi, yakini dan praktikkanlah teori parenting Barat itu agar anak-anak kita tumbuh menjadi generasi liberal. Simpan saja Al-Qur’an di lemari paling dalam dan tunggulah suatu saat akan datang suatu pemandangan yang sama seperti kutipan kalimat di awal tulisan ini.


Oleh : Yazid Subakti


Sumber : www.fimadani.com/untukmu-yang-mengharamkan-kata-“jangan”-dalam-mendidik-anak-adakah-engkau-telah-melupakan-kitabmu/

The Historian (Sang Sejarawan)


Kemungkinan buku ini saya beli tahun 2008. karena biasanya saya menintakan tanggal dan lokasi pembelian di setiap buku yang dibeli. sepertinya buku ini memilih untuk menjadi misterius saja :)

tentu saja saya tertarik karena latar belakang novel ini, SEJARAH! i love history. inti dari novel ini terakumulasi dalam satu pertanyaan, "Mungkinkah dracula masih hidup?" and you'll find when you read it.

ceritanya lambat dan detail, dari landscape lokasi sampai detail kejadian. bacanya kudu sabar. dan itu yang buat buku ini seru. semakin ke halaman selanjutnya bikin makin penasaran "what next?". buku ini sepertinya masih terbit. dulu belinya di Gramedia, harga masih Rp 120.000,-. dan TEBAL :D tebalnya 768 halaman. like i said, bacanya memang wajibul kudu sabar. berikut sinopsisnya.

SINOPSIS
Suatu malam, di perpustakaan ayahnya, seorang wanita muda menemukan sebuah buku kuno dan sekumpulan surat yang sudah menguning. Semua dokumen itu mengantarkannya ke kekuatan paling kelam yang pernah dikenal umat manusia---dan perburuan berabad-abad untuk menemukan sumber kegelapan itu serta memusnahkannya: perburuan Vlad si Penyula, yang lebih dikenal dengan nama Dracula.

Perpustakaan berdebu universitas-universitas ternama di Amerika Serikat, Istanbul, Budapest, dan pedalaman Eropa Timur pun ditelusuri demi mengumpulkan petunjuk.

Hingga akhirnya muncul pertanyaan mengerikan: mungkinkah Dracula masih hidup?

*** Lokasi-lokasi yang eksotis, sejarah yang memikat, warisan keluarga, dan cinta si haus darah: sulit membayangkan para pembaca tidak akan terpikat juga. --Publishers Weekly


Pengolahan plot yang dilakukan Kostova dengan ahli dan antusiasmenya yang menggebu-gebu tentang topiknya menjadikan buku ini sangat memuaskan. --Guardian

Kostova dengan lihai menggabungkan fakta, fiksi, dan sejarah… --The Jakarta Post

rabytah.multiply.com/reviews/item/32/The_Historian_Sang_Sejarawan_Elizabeth_Kostova

hari ini tanpa mu, Nak

Ayah rindu. Bunda rindu.
mengikhlaskan mu
karena kita milik-Nya, juga kamu
Ramadhan ini tanpa mu, Nak
tapi cita-cita besar harus tetap tertinta
gegas langkah mulia harus tetap terbina
dan mengikhlaskan mu
adalah istirahat
malam ini tanpa mu, Nak
Ayah rindu. Bunda rindu.

*selarik rangkaian, mengenangmu, buah hati kami...

Status 1 vs Status 2 vs Status 3 dst…

Status mu harimau mu. Karena tulisan perwakilan hati dan mulut. Perkara status versus status ini dulu pernah dibahas oleh salah satu rekan saya sesama multiplier, Om Anes (http://aneshusen.multiply.com). Om Anes mengkodefisikannya menjadi Kijang 1 vs Kijang 2 vs Kijang 3 dll. Tafsir dari kode ini adalah :


Ketika Kijang 1 “merasa” tersindir dengan status/quicknote/journal yang diposting oleh Kijang 2, maka Kijang 1 “membalas” membuat status/quicknote/journal yang bertujuan untuk menyindir Kijang 2. Eh ternyata saudara-saudara yang tersindir bukan hanya kijang 2, tetapi kijang 3 dan kijang 4 yang entah darimana asalnya ikut tersindir. Kijang 2, 3, 4 pun berbuat hal yang sama seperti kijang 1. Dan ternyata lagi saudara-saudara, yang tersindir malah kijang 5, 6, 7, dan 8. Akhirnya makin banyak kijang-kijang yang bertebaran di dunia maya.


Itu tafsir bebas. Ini hal nyata. Dulu banget, saya juga pernah melakukan kesalahan yang sama. Saya pernah posting quicknote yang isinya keluhan tentang contact Facebook saya yang berbalas  status dengan pasangannya, sampai satu komplek facebook tau kalau mereka lagi berantem, padahal itu aib keluarga mereka. Ujug-ujug saya bukan menyelesaikan masalah, karena ternyata justru contact saya di Multiply yang tersinggung.


Tentu saja masalahnya di saya. Kalau niat menyelesaikan ya tegur langsung dengan cara yang baik pada yang bersangkutan. Lagian masalahnya di Facebook kenapa saya ngepostnya di Multiply coba (sumpah saya nyesel banget). Akhirnya cuti dari Multiply.


Tidak sekali. Dulu-dulu pernah juga saya ngepost status yang inti isinya : “if you feel uncomfort with me, please remove me from your friendlist.” Terakhir-akhir yang message ke inbox banyak Sampai seorang teman saya ngomong : “It’s just not like you at all, Ra.” Tobat.


Dan tak jarang pula perkara “status” akhirnya malah membongkar aib sendiri. Merasa ini, adukan kesini, yang disana merasa, buat status yang sama, yang kesinggung beda, adukannya ke yang lain pula, bidikan utama yang ingin disinggung malah tak merasa apa-apa. Jyah! Panjang :D Masalah bertambah. Baiknya seorang Muslim jika tidak bisa berkata yang baik, maka diam adalah yang terbaik.


Dari Abu Hurairah radhiallahuanhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah dia berkata baik atau diam…………” (hr. Bukhari - Muslim)


Jadi tak heran lahir “pribahasa” Status mu adalah harimau mu. Karena efeknya mewabah. Oleh karena itu, ada baiknya hindari menulis status pada saat pikiran kita kusut atau sedang marah dan kesal pada seseorang, apalagi jika itu pasangan kita. Karena hal yang sangat mengkhawatirkan jika seseorang lebih nyaman mengkomunikasikan masalah keluarga pada facebook ketimbang dengan pasangannya sendiri.


Tips lain yang saya dapat dari salah seorang Penulis adalah, hidden his/her post. Ini saya lakukan kalau postingan seseorang sudah sangat mengganggu, atau mayoritas postingan isinya keluhan. Mengeluh tidak menyelesaikan masalah. Sebaiknya kita juga menghindari menulis “status atau note-note yang tidak punya penyelesaian”. Apa itu?


Ini contoh : “Rambut kok diwarna-warnain kaya’ gulali.”


Ada baiknya yang kita posting adalah sebuah tulisan pencerahan yang bisa berisi efek rambut diwarnain, atau seperti apa mewarnai rambut yang diperbolehkan. Yang baca juga tercerahkan, minimal kita sudah menyampaikan. Kadang maksud hati menyindir yang diluar, ujung-ujungnya yang didalam tersinggung semua. Kan kita tidak tau latar belakang seluruh contact kita. Status sesingkat itu tidak menjelaskan apa-apa kecuali cibiran kita saja.


“Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya.” (Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti, Kitab Raudhah Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala hal. 47)


Seseorang dapat dilihat dari lisan nya. –‘Ali bin Abi Thalib


Allahu a’lam bish showab. Sile kalau mau ditambah atau dikurang. Semoga menjadi pengingat untuk kita bersama


*btw akhirnya saya nulis lagiii, dengan status baru, a wife, hehe….


ujung perbatasan, 25 Juli 2011


http://rabytah.multiply.com/journal/item/119

Kangkung Tauco + Udang Sambel


masakan perdana di rumah sejak berstatus double (resep asli dari suami *hehe). hari ini juga hari pertama saya nggiling cabe *terharu. ternyata jadi ibu rumah tangga butuh perjuangan. apalagi masih baru :) mesti banyak belajar, mudah-mudah ke depannya saya bisa lebih baik lagi :D


buat yang baru belajar masak, resepnya gampang kok, cuma cara buatnya rada "underground", secara saya baru pertama. tapi dari gaya saya ngulek kata suami saya punya bakat sih, bakat jualan pecel :D


takaran resepnya pas buat makan pagi, siang, malem (nambah2 dikit jg gapapa). jadi bisa sekali aja, masaknya (hemat hehe..) kecuali yang suami nya banyak makan *nglirik suami keki...


resep Sambel Udang :


- udang 1 kg (boleh dengan kulit atau ga dengan kulitnya ga masalah, tapi tadi ga pake kulit, biar ga ribet pas makan)


- bawang putih 3 siung


- bawang merah 3 siung


- cabe secukupnya (10 buah)


- tomat 1 biji


- garam secukupnya


- gula merah (tapi tadi ga dipake -_-" lupa)


- ulekan *penting nih :D


cara masak :


- ulek bawang putih, merah, cabe, tomat, garam


- udang digoreng


- kalau udang udah mateng, baru deh bumbu yang udah di ulek tadi di masukin, goreng sampai mateng



resep Kangkung Tauco :


- kangkung setengah ikat


- cabe 3 atw 4 biji di iris miring


- tomat 1 biji di iris


- bawang merah dan bawang putih 3 biji di iris


- garam secukupnya


- air setengah gelas


cara masak :


- iris semua bumbu, kemudian goreng


- oseng-oseng bentar, lalu masukin air


- setelah mendidih, baru deh garam


- terakhir masukin kangkung nya, tunggu sampai kangkun nya layu


selamat mencoba :D kalo ada yang kurang tambahin ya', maklum, new comer :D

10 Bersaudara Bintang Al Qur'an [Sebuah Perjalanan dari Kisah Nyata Membesarkan Anak Menjadi Hafiz al-Quran]

Highly-recommended. Inspiring book. Kalau akhir-akhir ini beberapa postingan saya baik di multiply maupun facebook banyak yang bertema keluarga, it’s taken from this book. Buku ini cocok dikonsumsi oleh orangtua, guru, calon orang tua, para bujang lapuk, juga dara-dara yang gemar mencuci baju.


Buku ini tidak hanya berkisah, tapi juga sukses membagikan ide dan inspirasi. Menuturkan kisah nyata dari pasangan Ustadz Mutamimul ‘Ula (Ust. Tamim) dan Ibu Wirianingsih (Ibu Wiwi) yang berhasil membesarkan 10 orang anak-anaknya menjadi hafiz-hafizah al-Quran yang tidak hanya cerdas secara ukhrawi, tapi juga cerdas secara duniawi.

Baik Ustadz Tamim dan Ibu Wiwi sebenarnya bukan seorang hafiz-hafizah. Ust. Tamim hanya memiliki hafalan sekitar 3 hingga 5 juz, sementara Bu Wiwi baru menghafal 2 juz. Lantas bagaimana mereka bisa mendidik putra-putrinya menghafalkan al-Quran?
Jawabannya sederhana, tapi memiliki makna dan perjuangan luar biasa. Keyakinan yang kuat dan kecintaan untuk kembali kepada al-Quran itu saja yang mendasari pasangan ini untuk membuat anak-anaknya menjadi penghafal al-Quran. Ke semua anak-anaknya sejak masa kanak-kanak telah dikenalkan dan bergaul secara intensif bersama al-Quran. Ust. Tamim dan Bu Wiwi sendiri yang merancang kurikulum berbasis al-Quran bagi putra-putrinya.

Mereka berprinsip bahwa pendidikan anak adalah tugas terintegrasi antara Ayah dan Ibu. Sang Ayah haruslah seseorang yang memiliki visi besar tentang pendidikan dan Ibulah yang akan menjalankan misinya, mengisi kerangka.

Bagaimana Bu Wiwi bisa memiliki pandangan seperti itu? Lagi-lagi dia menyandarkan diri pada al-Quran dan sunnah, dan sirah nabawiyah. Ketika al-Quran berbicara tentang pendidikan anak, yang pertama kali diceritakan adalah kisah Luqman. Dia adalah Ayah yang mengajarkan tauhid pada anaknya.

“Dan (ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya ketika dia memberi pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah kezaliman yang besar.” (QS. Luqman : 13)

Tauhid adalah basis kehidupan beragama. Luqman, sebagai Ayah, menanamkan visi tauhid itu kepada anaknya. Begitupun Nabiyullah Ibrahim yang berhasil menanamkan keyakinan pada anak dan istrinya sehingga dapat menerima keputusan Allah swt. Hanya logika keimananlah yang dapat membawa mereka tetap berjuang teguh dijalan-Nya.

Kisah-kisah inspiratif dari al-Quran tersebut yang membuat Bu Wiwi dan suaminya bertekad bahu membahu mewujudkan impian mereka. Baik Bu Wiwi dan Ustadz Tamim bukanlah orang-orang yang tidak sibuk, mereka sepasang aktivis yang telah lama berkecimpung didunia dakwah. Bu Wiwi yang pernah tercatat sebagai pengurus besar PII (Pelajar Islam Indonesia) Jawa Barat sekarang menjabat sebagai Ketua SALIMAH dan staff Kaderisasi DPP PKS, aktif di ASA (Aliansi Selamatkan Anak Bangsa) sebagai ketua, dan presidium BMOIWI. Begitu juga Ustadz Tamim, pernah tercatat sebagai mantan Ketua Pengurus Besar PII dan sekarang aktif sebagai legislator DPR Ri fraksi PKS.

Rumah merekapun sejak awal telah direncanakan sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya. Ditengah-tengah kesibukan Bu Wiwi masih sempat mengundang anak-anak tetangga untuk belajar al-Quran. Tetangga adalah saudara terdekat dan sesikit banyak mempengaruhi pol piker dan prilaku anak-anaknya. Karena itu, sebelum saudara terdekat itu memberikan pengaruh yangtidak sesuai dengan visi. Misi dan konsep keluarga yang diyakininya, Bu Wiwi segera menebar pengaruh pada mereka. Sebuah langkah cerdas yang penuh hikmah.

Pendidikan anak bukanlah tanggung jawab seorang Ibu saja. Itu adalah keyakinan istimewa yang diyakini Ust. Tamim dan Bu Wiwi. Pendidikan anak adalah tanggung jawab orangtua. Dalam konsep pemikiran mereka, Ayah adalah peletak dasar pertama dan pemberi arah bagi pendidikan anak dan keluarganya. Baru setelah itu, Ibu menjadi pelaksana bagi konsep dasar dan filosofi dari pendidikan anak ditengah-tengah keluarga.

Jika komitmen telah tertanam kuat, hasil bisa diuji dan dibuktikan dengan amaliah. Segala yang tidak dipertaruhkan mustahil mendapatkan kemenangan. Visi yang kuatlah jawabannya. Visi menjadi pondasi bagi sebuah cita-cita besar dalam proses pembimbingan putra-putri Ust. Tamim dan Bu Wiwi. Visi yang begitu kuat diyakini, dikembangkan menjadi tahapan-tahapan misi serta rencana strategis untuk mencapainya. Visi yang mereka tekadkan sudah jelas, yakni putra-putri mereka harus tumbuh menjadi penghafal al-Quran. Mereka kemudian merancang misi itu bersama-sama.

Lagi-lagi, dorongan itu terletak kepada keyakinan. Keyakinan bahwa saat seorang anak yang memiliki bacaan, hafalan dan intensitas dalam berinteraksi al-Qurannya bagus, semuanya akan bagus. Artinya, prestasi duniawi pun akan bergerak mengikuti prestasi ukhrawi berupa kemampuan menghafal al-Quran. Ust. Tamim meyakini bahwa al-Quran adalah ilmu dasar bagi segala ilmu. Al-Quran berbicara tentang biologi dalam banyak ayat, tentang astronomi, tentang sastra, dan berbagai dasar ilmu lainnya. Al-Quran akan membantu memahamkan apapun ilmu duniawi yang akan ditekuni putra-putrinya kelak di kemudian hari.

Memulai dari diri kemuadia keluarga, sebuah prinsip yang tidak hanya teori saja, tetapi secara konsisten diterapkan dalam keluarga Ust. Tamim dan Bu Wiwi. Ditengah-tengah kesibukan Ust. Tamim yang luar biasa sebagai legislator, dai dan anggota masyarakat, keluarga tetap menjadi pusat perhatiannya. Ust. Tamim menyadari, keluargalah tempat menyemai peradaban yang sebenarnya. Sering kita lihat dalam realitas, bahwa banyak putra-putri dai-daiyah ataupun tokoh masyarakat tidak mampu mewarisi keteladana orangtuanya dimasyarakat dan tidak mampu meneruskan kepemimpinan orangtuanya.

Apa kunci keluarga Ust. Tamim? Keseimbangan proses. Walaupun mereka berdua sibuk tapu mereka memiliki jadwal ruhiyah dalam keluarga, pun mereka menjalankan funsi control selaku orangtua dalam dalam ibadah putra-putrinya. Berinteraksi dengan al-Quran berhasil ditanamkan sebagai kebiasaan putra-putri mereka sehingga takdir menjadi para penghafal al-Quran menjadi hak mereka. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Stephen Covey, seorang pakar kepribadian, “Tanamlah kebiasaan maka engkau akan menuai takdir.”

Kedekatan dengan putra-putrinya dibangun Ust. Tamim dengan media komunikasi dan dialog intensif sejak mereka masih kanak-kanak. Kecenderungan anak-anak untuk menanyakan apa saja yang ingin diketahui mereka direspons Ust. Tamim dengan menyediakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka. Ust. Tamim berperan sebagai Ayah sekaligus teman diskusi bagi anak-anaknya. Dia menganggap anak-anak seperti pita kosong yang siap diisi oleh apa saja, sesuai fitrahnya.

Lengkapnya baca bukunya aja ya. It’s very highly-recommended :D Trust me.

*untuk yang di Batam, aku belinya di Fatahillah, Panbil Mall Batam. Ini cetakan ketiga sih. Harganya sekitar 25.000-27.000. Lupa -__-“ dah lama sih. Baru sempet keposting hari ini.

http://rabytah.multiply.com/reviews/item/29
This entry was posted in

“Kamu selama ini ngapain aja?”

Yoyoh Yusroh, anggota DPR dari PKS, bercerita kepada Mahasiswa Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Universitas Indonesia bahwa dia pernah bertemu dengan Ummu Mus’ab dan Ummu Hamzah, wanita Palestina.

Hari Sabtu 9 Januari lalu, dia bercerita pernah ditanya oleh salah satu wanita Palestina itu. “Anak saya 13 orang,” jawab Yoyoh. “Hah tiga belas,” bisik para aktifis LDK yang kaget mendengar jumlah tersebut. Kedua wanita Palestina itu biasa saja mendengar jawaban Yoyoh. “Karena anak mereka minimal 14 orang,” kata Yoyoh yang membuat para mahasiswa semakin kaget lagi.

Pertanyaan kedua muncul untuk Ibu anggota DPR ini. “Kamu hafal al-Qur’an?” tanya Ummu Mus’ab. “Belum sampai 20 juz,” jawabnya. Kemudian ditanya lagi berapa usianya. Yoyoh menjawab 41 tahun. “Kamu selama ini ngapain aja?” tanya Ummu Mus’ab. [erdy]

dari Kolom Silaturahim Majalah SABILI No.14 TH. XVI 3 Shafar 1430

http://rabytah.multiply.com/journal/item/81