Catatan DFA Hari ke 01 - 13 : Mengenal Kamu, Dia, dan Semua
Ngga berasa diklat yang sedang saya ikuti sudah berjalan kurang lebih 2 minggu. Banyak sekali hal yang saya dapatkan selama mengikuti diklat, dan itu bukan soal materi diklatnya aja, tapi juga contoh semangat dan teladan profesi yang bisa saya ambil dari para peserta dan juga pemateri. Padahal mayoritas usia nya diatas saya, bahkan udah ada yang mau mendekati masa pensiun. Tapi semangat dan komitmen menuntut ilmunya masih membara. Kalo materi diklatnya sih masyaAllah, banyak banget ilmu yang didapat.
Walaupun sangat excited, diawal-awal agak kwatir waktu baca jadwal diklatnya yang panjang dan padat. Kurang lebih pembagian waktu belajarnya; kelas teori 2 bulan, ditambah jadwal magang juga 2 bulan. Sempet mbatin sanggup ngga ini ngikutin diklatnya. Tapi setelah menjalani, akhirnya sekarang mulai menikmati ritmenya; ritme tiap hari ada tugas😅 Berasa ngulang masa kuliah dulu. Bedanya ngga ada kegiatan organisasi aja. Gara-gara ini intensitas penggunaan kafein dalam kehidupan sehari-hari pun bertambah. Sekarang hampir tiap hari makin mesra sama teh susu/kopi susu, cemilan, dan kantuk yang ditahan🗿
![]() |
Tebak saya yang manaa? |
Gambar diatas adalah salah satu bentuk materi di hari pertama, Dinamika Kelompok. Dimulai dengan sesi pengenalan seluruh peserta, sesi mengenal diri sendiri, dan tentu aja belajar bagaimana membina kerjasama yang baik.
Just note to my self, catatan awal adalah, intinya sih jangan sampe ngga kenal seperti apa diri sendiri. Dengan mengenal diri sendiri dengan baik, kita jadi tau obat apa yang pas saat diri kita lagi di titik bawah, kita jadi tau pemantik apa yang cocok saat diri kita lagi butuh semangat.
Mungkin pembelajaran mengenal diri sendiri udah kita dapet ya dari banyak media, entah itu dari buku, pembinaan, sosialisasi, dll. Namun ada kalanya saat di titik jenuh atau saat futur, sadar atau terkadang ngga sadar kita membiarkan orang lain mendefinisikan diri kita.
Catatan berikutnya adalah semangat menuntut ilmu yang tak dibatasi usia bahkan oleh keadaan apapun. Setiap peserta sudah dipastikan memiliki kendala dan tugas masing-masing selama diklat berlangsung. Entah itu kendala waktu, kesehatan, jaringan, tugas kantor, dan seabrek kepentingan lainnya. Namun tetep aja setiap hari kelas dipenuhi dengan kehadiran, pertanyaan-pertanyaan, dan excitement thalibun 'ilmi. Baru-baru ini ada peserta seorang Ibu yang kecelakaan motor, lumayan parah melihat foto yang dikirim ke grup WA dengan wajah bercucuran darah dan harus ke puskesmas.
Tapi luar biasanya beliau tetap mengikuti diklat dengan izin off cam dulu, terus sampai rumah beliau langsung kembali on cam lagi mengikuti diklat dengan kondisi habis dijahit dan wajah masih diperban. Bandingin dengan kondisi saya yang ruangan udah ada, jaringan udah ada, fasilitas udah ada, fisik masih sehat, kalaupun capek tapi masih mau ngeluh rasanya malu jika membandingkannya dengan kondisi rekan-rekan yang lain.
Tapi kadang sebagian kita masih mengambil sisi negatif dari kata "membandingkan" ini. "Membandingkan" menjadi stigma ketika diletakkan dalan suatu kondisi. Benar adanya membandingkan tak baik, tapi juga ngga selalu buruk. Ada kalanya "membandingkan" membuat kita terpacu, ada kalanya "membandingkan" membuat kita bersyukur. Look up to be inspired, look down to be grateful.
“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pun akan ada titik di saat, entah itu usia ataupun pemahaman, dimana kita nantinya bisa memahami bagaimana nilai perbandingan ini, wujudnya negatif atau positif. Jika kata "membandingkan" hilang dari kamus mungkin rasa empati juga ikut terkikis. Saya mungkin bakal dengan gampangnya ngeluh capek, bosen, didepan orang yang mungkin tau atau tanpa saya tau kondisinya buruk/sedang buruk. Walaupun aslinya memang lagi capek, jenuh, pengen sendiri, terus pengen gampar emote patung totem di whatsapp, eh kok curhat wkwk
Catatan berikutnya yang saya noted adalah dari salah satu pemateri, mengenai penghargaan kita terhadap profesi kita sendiri. Kira-kira intinya kalo ada yang paling menghargai atau justru yang menjatuhkan sebuah profesi adalah si pemangku profesi itu sendiri.
Jika si pemilik profesi menampilkan citra telat ke kantor adalah hal biasa, nonton film/youtube di jam kerja, jadwal bebas, lalu pulang sesuka hati. Kira-kira seperti itulah gambaran yang diambil oleh orang luar terhadap profesi itu; tidak berharga, sepele, atau bahkan tidak terlalu penting. Pun sebaliknya, jika yang tampil adalah wujud bertanggungjawab, proaktif, dan disiplin, seperti itu jugalah profesi itu bernilai di mata pihak luar.
Catatan selanjutnya saya dapat dari efek diklat ini terhadap ritme hidup saya sehari-hari. Lumrahnya dengan tambahan jadwal diklat ini, seharusnya waktu saya berkurang banyak. Iya bener, memang kuantitasnya berkurang, tapi ngga nyangka quality time nya malah bertambah. Dari jadwal saya, suami, sampai anak-anak, entah itu olahraga, baca buku, bonding time, jalan-jalan, dll. Semuanya sekarang harus disempatkan dan dijalankan. Beda banget kalo ritmenya lagi terlalu senggang. Malah waktunya jadi beneran kosong terbuang ngga jelas buat apa, ngga produktif. .
Jadi memang bener pesan dari Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah :
Jika dirimu tidak disibukkan dengan hal-hal yang baik, pasti akan disibukkan dengan hal-hal yang batil. (Al-Jawabul Kaafi, hal 56)
InsyaAllah kalo hubungan Rusia dengan Indonesia masih baik-baik aja, kelas teori masih berjalan kurang lebih sebulan lagi. Mudah-mudah terlewati dengan sangat baik, berkah, dan bermanfaat. aamiin...