Yang membuat saya sangat suka dengan drama ini karena ceritanya yang relatable, ngga berat, tapi punya emotional impact. Drama ini berhasil menyajikan cerita dengan permasalahan-permasalahan yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. Pun setiap karakter diperankan dengan sangat kuat oleh masing-masing pemerannya. Alasan lainnya, karena nuansa 80’an dan 90’an nya yang saya sukai, sederhana dan hangat. I love that kind of vibes.
Jadi back
to the scene, ceritanya di scene ini Dong
Ryong kabur dari rumah karena merasa ngga diperhatikan sama orangtuanya
(Bapaknya Guru, Ibunya Pegawai Asuransi). Singkat cerita, Dong Ryong
kemudian dijemput pake mobil oleh sahabat-sahabatnya dan yang nyupirin Kakak
perempuan Deok Sun yang galak banget tapi baik hati, namanya Sung Bora.
Ketika
sudah sampai di rumah, si Dong Ryong ngga mau turun-turun dari mobil
karena takut kena marah orangtuanya. Akhirnya Bora yang udah suntuk banget
sambil kesel nasehatin si Dong Ryong untuk melihat dirinya sendiri.
Bagaimana dia masih beruntung dibanding sahabatnya yang lain (yang emang susah
banget), karena masih bisa makan enak, punya sepatu dan baju bagus, duit ngga
susah minta, dan punya kamar sendiri. Bora bilang,
"Anak yang sudah seusiamu itu lebih
enak punya orangtua berduit
ketimbang orang tua yang ada disisimu."
Dilain
pihak, kondisi Dong Ryong pada saat itu memang sedang berada pada fase paling rendah, dimana dia merasa tidak diperhatikan karena jarang ketemu dengan
orang tuanya yang sibuk bekerja. Dan pada satu titik, waktu itu adalah momen ulang tahunnya, kedua orangtuanya lupa, makin-makin dia merasa sendiri dan ngga diperhatikan lalu
memutuskan untuk kabur dari rumah.
Sementara
di sisi Bora sendiri, kenapa dia sampai bisa ngomong kaya gitu, karena dia
membandingkan dengan kondisi hidupnya sendiri. Bora tahu rasanya hidup
kekurangan. Bora dan Saudarinya Deok Sun harus rela berbagi kamar, berbagi
makanan, pakai pakaian lungsuran, bahkan tinggal di basement sempit
rumah orang, berlima bersama Ayah, Ibu, dan Adik laki-laki mereka No Eul.
Ayahnya ditipu sehingga Ibunya yang seorang Ibu Rumah Tangga
harus pintar-pintar membagi gaji Ayahnya yang juga sudah dipotong utang.
Belum
lagi pada masa itu (era 1980an), baik secara ekonomi, sosial dan politik,
kondisi Korea Selatan sedang tidak stabil. Korea Selatan sedang mengalami
masa transisi menuju sistem demokrasi. Salah satu momentum penting yang
terjadi pada masa itu adalah Olimpiade Seoul 1988. Meskipun Korea Selatan
sedang bersiap menunjukkan wajah modernnya kepada dunia, gejolak di dalam
negeri belum mereda. Demonstrasi demi demonstrasi terus terjadi sebagai bentuk
protes terhadap ketidakadilan dan tuntutan reformasi. Kondisi sosial-politik
tersebut turut diangkat dalam drama ini. Mungkin ada 2 atau 3 scenes yang
menampilkan suasana demonstrasi menjelang pelaksanaan Olimpiade Seoul 1988,
dimana scenes ini sedikit memberi gambaran mengenai ketegangan
sosial yang mewarnai kehidupan masyarakat Korea pada masa itu.
Jadi
walaupun drama ini temanya adalah keluarga dan persahabatan, tapi didalamnya
juga terdapat unsur sejarah dengan menampilkan aksi demonstrasi yang dilakukan
oleh para mahasiswa pada tahun 1988. Karakter Bora sendiri digambarkan sebagai
seorang aktivis yang menjadi representasi dari semangat perlawanan pada masa
itu.
Dari
sebatas scene ini mungkin kita akan menilai permasalahan Dong
Ryong sebenarnya tidak seberapa dibanding masalah Bora, Deok Sun, ataupun Sun
Woo. Namun scene ini menunjukkan bahwa titik krisis orang itu berbeda-beda, ternyata
setiap orang membawa lukanya masing-masing. Dong Ryong yang merasa diabaikan
atau Bora yang hidup dalam keterbatasan. Keduanya terluka, tapi dari sudut yang
berbeda. Ini mengingatkan kita bahwa setiap orang punya perjuangannya
masing-masing yang ngga selalu bisa kita lihat dari luar.
Dong
Ryong tidak kekurangan secara materi, tapi ia merasa kosong karena orang tuanya
nyaris tak pernah hadir secara emosional. Menjadi reminder buat saya sebagai
orangtua, bahwa kehadiran itu ngga kalah penting dari sekedar
"mencukupi". Orangtua nggak harus sempurna, tapi hadir itu penting,
bahkan walaupun kehadiran itu hanya berwujud perhatian sederhana.
Scene
ini juga ngingetin kita bahwa seringkali kita hanya melihat apa yang kurang,
tanpa menyadari apa yang masih kita punya. Bora dengan tegas mengingatkan bahwa
dibanding orang lain, Dong Ryong masih punya banyak hal yang layak
disyukuri. Our Prophet Muhammad ï·º reminded
us :
“Pandanglah orang yang berada di bawahmu
(dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada
di atasmu (dalam masalah ini). Itulah yang lebih pantas. Dengan demikian, hal
itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah kepadamu.”
(HR. Muslim, no. 2963)
Menjadi
orang tua adalah tentang hadir. Secara fisik dan emosional. Bukan dalam artian
hadir secara fisik 24 jam ya. Anak ketika menginjak usia tertentu juga udah
ngga bakal mau ditemenin orang tuanya kemana-mana. Mereka suatu saat juga akan
punya dunia sendiri. Hadir juga saya artikan sebagai menjadi teladan.
Di
sisi lain, pada realitanya, menjadi orangtua juga berhubungan dengan tanggung
jawab finansial untuk memenuhi hak-hak anak, dari kebutuhan dasar, kesehatan, pendidikan
bahkan hingga biaya pernikahan. Ini yang menjadi bahan diskusi saya dan
suami belakangan ini. Suatu saat, entah kapan, saya bilang ke suami, kami
harus mempertimbangkan suatu pilihan yang sulit, yaitu untuk kembali merantau
dan meng-upgrade pendidikan. Karena resiko menetap adalah
stagnansi skill dan finansial. Bukan soal ambisi, tapi karena
ingin bertumbuh, demi anak-anak kami, dan demi menjaga agar kami tetap bisa
memenuhi peran kami sebagai orang tua secara utuh, termasuk secara finansial.
Kondisi finansial yang stagnan tidak akan membawa kami jauh. Apalagi kami punya prinsip untuk sebisa mungkin menghindari utang dalam bentuk apa pun jika tidak ada kedaruratan. Hingga kini untuk setiap kebutuhan dengan nominal yang besar, kami memilih menabung terlebih dahulu, meski butuh waktu lebih lama. Namun, cara hidup seperti ini tentu menuntut stabilitas dan pertumbuhan finansial yang cukup, bukan yang jalan di tempat.
Saya
ingin memastikan bahwa ketika anak-anak kami tumbuh besar nanti, mereka ngga memikul beban yang seharusnya menjadi tanggung jawab kami. Terutama anak sulung,
yang sering kali tanpa sadar dihadapkan pada tanggung jawab yang bukan
miliknya. Saya ngga ingin anak sulung kami kelak harus memikul biaya
adik-adiknya karena kami alpa dan lalai dalam mengatur keuangan kami sendiri.
Tanggung jawab itu seharusnya milik kami, bukan warisan yang dibebankan kepada
mereka.
Karena
buat saya, yang memutuskan memiliki anak adalah kami sendiri, yang pengen
menambah anak juga kami sendiri. Maka sudah seharusnya kami bertanggung
jawab atas pilihan-pilihan kami itu. Saya ngga ingin anak-anak saya nanti memikul
sisa beban yang ngga mereka pilih. Saya ingin berjuang hari ini, agar mereka ngga
harus menanggung "estafet beban" di kemudian hari.
Saya sadar banget kami berdua
sebagai orangtua nggak bisa mempersiapkan segalanya dengan sempurna, mengingat
seabrek kekurangan yang ada di diri kami. Jadi sebelum meminta anak-anak kami
mandiri, terlebih dahulu kami harus berjuang dan bertanggung jawab dengan
pilihan kami sendiri.
Pada akhirnya,
menjadi orang tua adalah proses belajar yang panjang. Menjadi orangtua bukan
tentang menjadi sempurna. Tapi tentang terus belajar, hadir, dan berusaha
memenuhi tanggung jawab dengan sebaik-baiknya.
"Saat kakakmu lahir, kami khawatir
bagaimana mengajarinya. Saat kau lahir, kami khawatir bagaimana membesarkanmu.
Dan saat adikmu lahir, kami khawatir bagaimana menjadikannya orang baik. Para
Ayah tidak secara otomatis menjadi Ayah saat anaknya lahir. Ini pertama kalinya
aku menjadi Ayah, jadi... tolong beri kami kelonggaran."
(Sung Dong-Il, Reply 1988, episode 1)