Showing posts with label Parenting. Show all posts
Showing posts with label Parenting. Show all posts

REVIEW : Parent With No Property (Han Hee-Seok)



20130924-143920.jpg

Buku ini berkisah tentang perjuangan seorang pria miskin (Han Hee-Seok) yang berhasil mengantarkan anaknya meraih peringkat satu dan menembus impian untuk lolos ke universitas idaman nya. Meskipun kesulitan menerpa dari segala sisi, Han Hee-Seok sama sekali tak mau mewariskan kemiskinan itu pada anak-anaknya.

Tidak sepenuhnya sepikiran. Tapi ada beberapa hal yang benar-benar menggugah dan menjadi catatan penting yang saya ambil dari buku ini.

Pertama. Bagaimana Han Hee-Seok berhasil membangkitkan kepercayaan diri anaknya berkali-kali. Padahal di saat yang sama pun Han sedang terpukul dengan kegagalan nya (berkali-kali juga).

Kedua. Betapa pentingnya peran keluarga dalam hidup seseorang, bisa menjadikan seseorang baik, atau bahkan buruk sekali. Coba baca ucapan istri Han berikut ini :
"Kaulah yang terbaik. Suatu saat nanti kau pasti akan jadi yang terbaik. Jangan khawatir dan tunjukkan keberanian mu."
Padahal saat itu Han dalam kondisi berulang kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tapi istri Han tetap optimis dan menyemangati suami nya.

Ketiga. Cara Han dalam membantu anaknya belajar. Asli deh unik-unik dan tidak biasa :) Biasa kan orangtua cuma ngingetin belajar, atau bantuin ngerjain soal. Nah disini Han ga ngajarin langsung, "ngajarin" dengan cara lain, Han bener2 terjun langsung dan menjiwai perannya sebagai "Ayah pendamping belajar".
Dari mewawancarai mahasiswa2 dan tetangganya untuk mencari tips2 belajar, keliling perpustakaan Seoul setiap hari demi minjemin anaknya buku2 (ga ada duit buat beli buku), rela duduk dibelakang bus demi menguping percakapan anak2 ABG pulang sekolah demi lebih menjiwai dunia anak2nya, hingga membuat kliping setiap pagi dan di taro di wc agar anak2nya bisa baca.

Keempat. Visioner. Bayangkan, saat anaknya yang pertama (Geoul) masih kelas 3 SMP, Han sebagai orangtua malah sudah mengikuti seminar penerimaan mahasiswa baru universitas (berkali-kali). Sehingga ia punya gambaran perencanaan langkah2nya ke depan sebagai Ayah yang ingin membantu anak2nya mencapai cita2. Dan ini nular ke anak2nya. Saat Geoul SMA ia sudah punya gambaran perencanaan hidup lengkap ke atas. Ayah nya memang ga ngajar rumus2 atau bantuin dia ngerjain soal. Tapi langkah2 visioner Ayahnya bener2 bikin kemajuan pesat dalam hidup nya, biar pun ditengah lilitan kemiskinan.

Kelima. Cara Han berkomunikasi dengan anaknya. Sekali pun saat Han lagi2 tertimpa masalah -_- ia tetap bisa mengatur tempo emosi jiwa nya.

Dan salah satu yang paling saya suka adalah cara Han menuturkan kisahnya di buku ini, apa adanya, sebagai Ayah, juga sebagai manusia biasa yang banyak kekurangan.

Untuk menambah wawasan dunia parenting, this is a recommended-book.

Membentuk Keluarga Generasi Qurani (kultwit @akuaisemangka)

Berikut ini adalah rangkuman kultwit neng Ai. Bela2in dipaketin di wp. Ketauan sih ini ga bisa nge-chirp :p heheh... Aku rangkum karena aku rasa kultwit ini inspiring and hardly-recommended untuk dibaca, baik yang sudah menikah maupun yang belum menikah.


Aku sendiri selalu merasa kecil dan malu setiap kali baca pengalaman keluarga-keluarga yang berhasil mencetak para penghafal al-Quran. SubhanAllah.. setiap kisah mereka selalu menjadi semacam lecutan semangat untuk lebih baik lagi, semangat yang kadang acapkali naik turun :(


Sila dibaca ya, semoga bermanfaat dan menjadi charger ruhiyah untuk mencetak generasi Qurani di rumah-rumah kita :)


Bismillahirrahmanirrahiim...


1. Sy mau sharing ilmu yg sy dapet di acara @salamui: Talkshow "Membentuk Keluarga Generasi Qurani" pk9-12 siang tadi di MUI #GenerasiQurani


2. Pembicaranya Ustdz. Aan Rohanah (pimp. PPP Darul quran), Ust. Budi Dharmawan (pendiri Yayasan Ummu Habibah) & para hafidz #GenerasiQurani


3. Di antaranya ada Wirda (putri ust. Yusuf Mansyur), Faris (putra ustzh Wirianingsih) & Umar (putra ustzh Yoyoh Yusroh) #GenerasiQurani


4. Talkshow Keluarga Sakinah itu dibuka dgn pertanyaan utk Ust. Budi: Bagaimana membangun keluarga generasi Qurani? #GenerasiQurani


5. Rujukan kita adl "Sebaik2 generasi adl #GenerasiQurani". Tetaplah berupaya membentuknya meski generasi zaman Rasulullah tetap yg terbaik.


6. Lingkup terkecil dlm masyarakat adl keluarga. Maka, langkah pertama membentuk #GenerasiQurani bukan dgn mencari seorang istri, tapi ibu.


7. Loh, apa bedanya? Jelas beda. Jika mencari istri, maka karakter yg dikedepankan adl idealita diri. #GenerasiQurani


8. Sedangkan jika mencari ibu bagi anak2 kita, maka idealita #GenerasiQurani lah yang utama, Terlihat jelas kan yah perbedaannya?


9. Begitu sebaliknya. Jika ingin membentuk #GenerasiQurani, yg dicari karakter ayah, bukan suami. Anak yg shalih dari orangtua yg shalih.


10. Mengapa #GenerasiQurani? Ustdz Aan: pertama krn keutamaan dari alQuran. Jika ingin membentuk keluarga islami, maka jiwanya hrs alQuran.


11. Jika ingin mendidik anak yg shalih, tapi tetap bs berkarya besar di masyarakat, maka anak tsb juga hrs berjiwa alQuran. #GenerasiQurani


12. Mengapa #GenerasiQurani? Alasan kedua: Sebaik2 kamu adl yg belajar alQuran & mengajarkannya. Moga Allah & para malaikat mendoakan kita.


13. Keluarga sdh terbentuk, selanjutnya bangun Visi Keluarga: Mengembalikan zaman ke dlm #GenerasiQurani ~> dari keluarga hingga masyarakat.


14. Langkah2nya: Sering berinteraksi dgn alquran, Ortu menjadi tauladan bagi anak & saling memotivasi utk menjadi hafidz/ah #GenerasiQurani


15. Lingkungan itu pengaruhnya besar. Maka, jgn pernah lelah berdoa utk menjadi penghafal alQuran, semoga Allah memudahkan. #GenerasiQurani


16. Mengapa ingin mjd penghafal alQuran? Dan bertuturlah Wirda, Faris, serta Bang Umar ttg motivasi & pengalaman mereka #GenerasiQurani


17. Faris: Berlatar dr ortu yg cinta Quran, maka dibangunlah kebiasaan: mendengarkan Quran, berkisah ttg hafidz sukses, dll #GenerasiQurani


18. Tapi tetap saja, kesadaran utk menghafal alQuran berasal dr diri sendiri. Tugas orangtua menskenariokan dan mengarahkan #GenerasiQurani


19. Wirda: Menghafal Quran karena lingkungan mendukung untuk itu. Bapaknya ustadz, tinggal di kampung Quran. Lengkaplah. #GenerasiQurani


20. FYI, Wirda ini home schooling. Biar bisa fokus menghafal. Di sini, Ust. @Yusuf_Mansur kasih pemahaman yg menyejukkan... #GenerasiQurani


21. Kata Ust @Yusuf_Mansur, "Kalo mengejar dunia, maka hny dunia yg kamu dapatkan. Tp kalo akhirat, maka duniapun akan ikut" #GenerasiQurani


22. Wirda kembali berkisah ttg mimpi bertemu Rasulullah saw dan Abu Bakar ra pasca keinginannya utk berhenti menghafal #GenerasiQurani


23. Sy gak akan ceritain detil mimpinya yah. Teman2 sila tonton video acara Chatting dgn YM di sini: http://bit.ly/ORCopJ  #GenerasiQurani


24. "Kalau kamu yakin utk menghafal, insyaAllah akan dimudahkan." Intinya begitu pesan Rasulullah saw pada Wirda (dan kita) #GenerasiQurani


25. Oya, Wirda juga membagi tipsnya dlm menghafal Quran: 1. Jaga mata. 2. Jaga aurat. MasyaAllah.. singkat tapi jleb banget! #GenerasiQurani


26. Nah, di sini Umar, putra alm Ustdz. Yoyoh lebih byk berkisah ttg ibunda tercinta: saat ke Gaza hingga mimpi2 membentuk #GenerasiQurani


27. Di Gaza, para ummahat yg ditemui Ustdz. Yoyoh memperkenalkan diri begini: Sy fulanah, memiliki anak sekian & sy hafidzah #GenerasiQurani


28. Tampaknya mudah mencetak anak #GenerasiQurani di Gaza yaa. Jelas krn ortunya berjiwa Quran & lingkungan yg selalu menyenandungkan Quran


29. Inilah tantangan yg dibawa Ustdz Yoyoh sepulang dari Gaza. Bagaimana membuat Quran hadir di tengah masyarakat Indonesia #GenerasiQurani


30. Sudah cukup yah umat Islam terpuruk. Banyak tp seperti buih di lautan. Maka, saatnya bangun #GenerasiQurani! Kembalikan kejayaan Islam!


31. Ustdz Yoyoh lalu membentuk pesantren Quran bagi anak. Knp dimulai dr anak2? Karena mereka akan mjd kiayi2 majlis ta'lim #GenerasiQurani


32. Menjadi Ust/Ustdz yg mendidik & menumbuhkembangkan #GenerasiQurani. Ngaji bukan sekadar salawatan, tp ada muatan2 Quran yg disampaikan.


33. Jadi, kita dituntut bukan hanya untuk hafal Quran, tapi juga memahami dan mengamalkan isinya dengan baik. #GenerasiQurani


34. Terakhir, ada sedikit sharing juga dr Nugraha, mhs FE UI yg hafidz.Ia juga berkisah ttg pengalamannya menghafal Quran #GenerasiQurani


35. Saat kelas 1 SMA, Nugraha bertekad menuntaskan hafalan Qurannya. Alasannya karena ingin fokus persiapan ujian masuk PTN. #GenerasiQurani


36. Maka, iapun menghafal tiap ba'da maghrib hingga adzan isya setiap hari. Sayang, waktunya terasa kurang bagi Nugraha. #GenerasiQurani


37. Hanya ada satu solusi jika ingin hafalannya bertambah banyak: Potong waktu main! #GenerasiQurani


38. Setiap orang yg ingin menghafal harus punya waktu khusus. Kalo nggak, namanya mimpi! Karna tdk terlihat keistiqomahannya #GenerasiQurani


39. Dari semua pengalaman yg dibagi itu, terangkum sudahlah: Ini bukan soal bisa atau tidak. Tapi mau menghafal atau tidak? #GenerasiQurani


40. Sekian kultwit #GenerasiQurani. Moga bermanfaat & melecut kita utk semangat menghafal Quran. Menjadi bagian dari Generasi Qurani. #NtMS

10 “Jangan” Dalam Memberi Nama Anak

Nama merupakan Modal Awal, label, wadah, dan peluang (Wahyudin, Maa, Aku Bisa). Termasuk juga Nama Panggilan. Tidak jarang namanya sudah bagus, eh panggilannya malah sembarangan. Contoh : karena si anak gemuk dan chubby si orangtua memanggil dengan panggilan Gendon, sehingga orang-orang sekitarnya pun memanggil demikian. Singkat cerita sang anak tidak suka sehingga membawa pengaruh buruk pada prilaku sang anak. Niatnya panggilan sayang tanpa sadar malah merusak. Padahal nama asli sang anak Hidayatullah :D (Ust. Fauzil Adhim, Positive Parenting)


Nama saja tidak cukup, harus ada karakter khusus (Brand Image) yang kita berikan pada anak-anak kita. Misalnya Pintar, pemberani, calon penulis hebat, atau calon ilmuwan hebat, dan lain-lain. Brand image ini sebenarnya dibahas lumayan panjang dalam buku yang sedang saya pegang saat ini, judulnya “Maa, Aku Bisa” karya Pak Wahyudin. Mungkin dilain kesempatan bisa dibahas. Akan lebih baik jika kita mengetahui modal awalnya dulu, Nama.


Berikut 10 larangan dalam memberi nama yang saya ringkas dari buku Pak Wahyudin, semoga bisa menjadi bekal kita sebagai orangtua ketika memberi nama anak-anak kita kelak.


1. Jangan memberi nama anak kita dengan nama-nama Allah yang memang khusus untuk-Nya. Yaitu nama-nama ketuhanan yang patut disembah (uluhiyyah) seperti misalnya, Malikul Amlak (Raja Diraja), al-Khaliq (Maha Pencipta), al-Ahad (Maha Esa), al-Baqi (Maha Kekal), al-Muqtadir (Maha Berkuasa), Al-Qadir (Maha Kuasa), al-Mutakabbir (Maha Angkuh), al-Malik (Maha Raja), dan al-Khabir (Maha Mengetahui).


Kalau kita ingin menggunakan nama-nama itu harus memakai kata ‘abdu (hamba). Misalnya, ‘Abdullah (Hamba Allah), ‘Abdul Malik (Hamba dari Dzat yang Maha Menguasai), ‘Abdul Qadir (Hamba dari Dzat yang Maha Kuasa).


2. Jangan memberi nama anak kita dengan nama-nama Allah yang menunjuk bahwa sifat atau perbuatan itu hanya dapat dilakukan oleh Allah semata. Misal, ar-Rahman (Maha Penyayang), as-Somad (Tempat bergantung dan memohon), as-Salam (Maha Pemberi Ketentraman), ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki), al-Qabid (Maha Penahan dan Pemegang), al-Basit (Maha Pelepas), dan al-Wali (Maha Pelindung).


Kalau kita ingin menggunakan nama tersebut harus menempuh langkah seperti butir sebelumnya, menggunakan kata ‘abdu (hamba). Tetapi untuk nama Allah butir kedua ini agak lunak. Artinya, kalau kita tahu persis bahwa nama-nama Allah yang  kita maksud tersebut bersifat akhlaqi, yaitu mengandung sifat-sifat yang layak kita contoh, maka kita tidak diharuskan memakai kata ‘abdu. Sebagai contoh misalnya, Syakur, Lathif, dan Rasyid.


Namun hemat penulis, akan lebih baik sekiranya tetap menggunakan kata ‘abdu.


3. Dalam memberi nama anak kita, jangan mengikuti kata ‘abdu dengan nama-nama selain Allah, karena dapat membawa kita menghamba pada selain Allah. Contoh nama ‘abdu yang diikuti selain nama Allah, ‘Abdul ‘Uzza dan ‘Abdun Nabi. Contoh nama-nama yang menggunakan kata ‘abdu yang seolah-olah diikuti nama Allah : ‘Abdul Maqsud, ‘Abdul Satar, dan ‘Abdul Maujud.


4. Jangan memberi nama anak kita dengan nama-nama golongan Yahudi, Nasrani, Majusi, dan golongan kafir lainnya yang menjadi musuh Islam.


Contoh : George, David, Geozev, Yara, Diana, Gokalin, Indara, Jeklin, Goli, Suzan, Vali, Victoria, Kloria, Lara, Linda, Maya, Manolia, Haidi, Mardat, Jaudat, Haqi, Syirhan, Syirin, dan Nifin.


5. Jangan memberi nama anak kita dengan nama-nama diktator dan tiran atau orang-orang yang sehaluan dengan mereka. Juga, jangan memberi nama-nama anak kita dengan nama-nama yang jahat (terlebih lagi yang dikutuk oleh Allah). Misalnya, Fir’aun, Haman, Qarun, Abu Lahab, Marx, Lenin, Stalin, Freud, Bush, Ariel Sharon.


6. Jangan memberi nama anak-anak kita dengan kata-kata yang tidak memiliki makna, misalnya, Zozo, Fifi, dan Mimi. Kata-kata itu sekedar indah (karena diperindah dengan aliterasi dan asonansi), tetapi tidak memiliki makna.


Sebaliknya kata-kata penguat aqidah sangat dianjurkan untuk dihadiahkan sebagai nama anak-anak kita. Contoh : Mukminin (orang yang beriman), Zuhdi (Zuhud), Iffah (menjaga harga diri), Nasih (setia, tulus, loyal, ikhlas), dan Munbats (Bangkit).


7. Jangan memberi nama anak-anak kita dengan kata-kata yang terlarang oleh adab kesopanan dan perasaan, bermakna pesimisme, patah arang, putus asa, kehilangan harapan hidup, dan tidak yakin akan masa depan. Contoh : Harb (Perang, Pertikaian), Hazn (sedih, susah, muram), Murrah (pahit), Mutadji (yang berbaring lemah, orang yang tidur miring), Himar (Keledai), dan Kalb (Anjing).


8. Jangan memberi nama anak-anak kita dengan kata-kata yang mudah lekang, lekas sirna, melemahkan jiwa anak, serta menimbulkan tertawaan dan ejekan. Misalnya, Syuhat (timbil), Fulful (Cabe), Khaisyah (karung), Jahsy (rusa), Baghal (keledai kecil), dan Fujul (Buah lobak).


9. Jangan memberi nama anak-anak kita dengan kata-kata yang bermakna rendah, hina, porno, menodai rasa malu, serta bermakna cinta membara. Misalnya : cebol, benjol, Hayyam (tergila-gila dalam cinta), Wassal (makelar), Syadiyah (penyanyi), Hiyam (sangat dahaga), Haifa (kecil perutnya), Ahlam (Impian kosong), Ghadab (marah).


10. Jangan memberi nama anak kita dengan kata Muhammad dengan menyatukan gelarnya, Nabi Muhammad saw. Termasul gelar beliau misalnya, ‘Abdul Qasim. Juga jangan memberi nama anak dengan kata-kata yang tidak disenangi oleh Nabi, misalnya : Najih, Nafi’, Aflah, dan Robah.


Demikianlah 10 “jangan” yang perlu kita perhatikan dalam pemberian nama anak.


Seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah. Apakah hak anakku ini atasku?” Rasulullah menjawab, “Membaguskan namanya, memperbaiki adabnya, dan menempatkan pada posisi yang baik.” (hr. at-Tabrani)

Untukmu yang Mengharamkan Kata “Jangan”: Adakah Engkau Telah Melupakan Kitabmu?

Image

“Al-Qur’an itu kuno,  Bu, konservatif, out of dated!. Kita telah lama hidup dalam nuansa humanis, tetapi Al-Qur’an masih menggunakan pemaksaan atas aturan tertentu yang diinginkan Tuhan dengan rupa perintah dan larangan di saat riset membuktikan kalau pemberian motivasi dan pilihan itu lebih baik. Al-Qur’an masih memakai ratusan kata ‘jangan’ di saat para psikolog dan pakar parenting telah lama meninggalkannya. Apakah Tuhan tidak paham kalau penggunaan negasi yang kasar itu dapat memicu agresifitas anak-anak, perasaan divonis, dan tertutupnya jalur dialog?“ Katanya sambil duduk di atas sofa dan kakinya diangkat ke atas meja.


Pernahkan Bapak dan Ibu sekalian membayangkan kalau pernyataan dan sikap itu terjadi pada anak kita, suatu saat nanti?


Itu mungkin saja terjadi jika kita terus menerus mendidiknya dengan pola didikan Barat yang tidak memberi batasan tegas soal aturan dan hukum. Mungkin saja anak kita menjadi demikian hanya gara-gara sejak dini ia tidak pernah dilarang atau mengenal negasi ‘jangan’.


Saat ini, sejak bergesernya teori psikoanalisa (Freud dan kawan-kawan) kemudian disusul behaviorisme (Pavlov dan kawan-kawan), isu humanism dalam mendidik anak terus disuarakan. Mereka membuang kata “Jangan” dalam proses mendidik anak-anak kita dengan alasan itu melukai rasa kemanusiaan, menjatuhkan harga diri anak pada posisi bersalah, dan menutup pintu dialog. Ini tidak menjadi masalah karena norma apapun menghargai nilai humanisme.


Tidak perlu ditutupi bahwa parenting telah menjadi barang dagangan yang laris dijual. Ada begitu banyak lembaga psikologi terapan, dari yang professional sampai yang amatiran dengan trainer yang baru lulus pelatihan kemarin sore. Promosi begitu gencar, rayuan begitu indah dan penampilan mereka begitu memukau. Mereka selalu menyarankan, salah satunya agar kita membuang kata “jangan” ketika berinteraksi dengan anak-anak. Para orang tua muda terkagum-kagum member applausa. Sebagian tampak berjilbab, bahkan jilbab besar. Sampai di sini [mungkin] juga sepertinya tidak ada yang salah.


Tetapi pertanyaan besar layak dilontarkan kepada para pendidik muslim, apalagi mereka yang terlibat dalam dakwah dan perjuangan syariat Islam. Pertanyaan itu adalah “Adakah Engkau telah melupakan Kitabmu yang di dalamnya berisi aturan-aturan tegas? Adakah engkau lupa bahwa lebih dari 500 kalimat dalam ayat Al-Qur’an menggunakan kata “jangan”?


Salah satu contoh terbaik adalah catatan Kitabullah tentang Luqman Al-Hakim, Surah Luqman ayat 12 sampai 19. Kisah ini dibuka dengan penekanan Allah bahwa Luqman itu orang yang Dia beri hikmah, orang arif yang secara tersirat kita diperintahkan untuk meneladaninya (“walaqod ataina luqmanal hikmah..” dst)


Apa bunyi ayat yang kemudian muncul? Ayat 13 lebih tegas menceritakan bahwa Luqman itu berkata kepada anaknya “Wahai anakku, JANGANLAH  engkau menyekutukan Allah. Sesungguhnya syirik itu termasuk dosa yang besar”.


Sampai pada ayat 19, ada 4 kata “laa” (jangan) yang dilontarkan oleh Luqman kepada  anaknya, yaitu “laa tusyrik billah”, “fa laa tuthi’humaa”, “Wa laa tusha’ir khaddaka linnaasi”, dan “wa laa tamsyi fil ardli maraha”


Luqman tidak perlu mengganti kata “jangan menyekutukan Allah” dengan (misalnya) “esakanlah Allah”. Pun demikian   dengan “Laa” yang lain, tidak diganti dengan kata-kata kebalikan yang bersifat anjuran.


Adakah pribadi psikolog atau pakar parenting pencetus aneka teori ‘modern’ yang melebihi kemuliaan dan senioritas Luqman?  Tidak ada. Luqman bukan nabi, tetapi namanya diabadikan oleh Allah dalam Kitab suci karena ketinggian ilmunya. Dan tidak satupun ada nama psikolog kita temukan dalam kitabullah itu.


Membuang kata “jangan” justru menjadikan anak hanya dimanja oleh pilihan yang serba benar. Ia tidak memukul teman bukan karena mengerti bahwa memukul itu terlarang, tetapi karena lebih memilih berdamai. Ia tidak sombong bukan karena kesombongan itu dosa, melainkan hanya karena menganggap rendah hati itu lebih aman baginya. Dan, kelak, ia tidak berzina bukan karena takut dosa, tetapi karena menganggap bahwa menahan nafsu itu pilihan yang dianjurkan orang tuanya.


Anak-anak hasil didikan tanpa “jangan” berisiko tidak punya “sense of syariah” dan keterikatan hukum. Mereka akan sangat tidak peduli melihat kemaksiyatan bertebaran karena dalam hatinya berkata “itu pilihan mereka, saya tidak demikian”. Mereka bungkam melihat penistaan agama karena otaknya berbunyi “mereka memang begitu, yang penting saya tidak melakukannya”.


Itulah sebenar-benar paham liberal, yang ‘humanis’, toleran, dan menghargai pilihan-pilihan.


Jadi, yakini dan praktikkanlah teori parenting Barat itu agar anak-anak kita tumbuh menjadi generasi liberal. Simpan saja Al-Qur’an di lemari paling dalam dan tunggulah suatu saat akan datang suatu pemandangan yang sama seperti kutipan kalimat di awal tulisan ini.


Oleh : Yazid Subakti


Sumber : www.fimadani.com/untukmu-yang-mengharamkan-kata-“jangan”-dalam-mendidik-anak-adakah-engkau-telah-melupakan-kitabmu/