Beberapa hari ini maraton nonton Trilogi The Lord of
the Rings (The Fellowship of The Ring, The Two Towers, dan The
Return of The King). Dari semua film yang pernah saya tonton, The
Lord of the Rings adalah satu-satunya trilogi yang sering saya tonton
ulang. Mungkin karena saya penggemar bukunya, juga penulisnya (J.R.R. Tolkien).
Bayangkan saja, seseorang mampu menciptakan sebuah dunia baru yang kompleks
lewat tulisan, bahkan sampai menciptakan beberapa bahasa. Fyi,
Tolkien menciptakan kurang lebih 15 bahasa fiksi (bahasa elf, bahasa dwarves,
bahasa orc, bahasa entish, bahasa mordor, bahasa mannish, dan bahasa
valarin). It really blows my mind. Only a genius can do that.
Tapi bukan hanya karena itu. Saya juga terkesan oleh nilai-nilai yang dibungkus begitu indah dibalik petualangan para tokohnya. Film ini tidak hanya epik dari segi cerita dan visual, tapi juga menyentuh dari sisi emosional dan moral. Saya rasa karena buku ini ditulis Tolkien berdasarkan pengalamannya sendiri pada Perang Dunia I (1914). Konon, bahkan ada yang menganggap kisah di buku ini seperti kisah peperangan akhir zaman karena narasinya yang mirip.
Ada banyak memorable scenes dalam film ini, salah satunya adalah adegan peperangan antara Pasukan Gondor dan Pasukan Sauron di Kota Osgiliath (The
Two Towers). Adegan yang tidak hanya menguras emosi, tetapi juga
menyentuh nilai-nilai terdalam tentang harapan, persahabatan, dan
perjuangan. Saat itu, Frodo nyaris tak sanggup melanjutkan perjalanan ke
Mordor. Kekuatan jahat dari cincin Sauron yang ia bawa perlahan menggerogoti
kewarasannya, membuat Frodo nyaris melakukan hal yang tak pernah ia bayangkan:
Frodo hampir membunuh sahabatnya sendiri, Samwise Gamgee. Untungnya, Frodo
tersadar sebelum semuanya terlambat. Namun hal itu membuatnya begitu terguncang
dan putus asa. Dalam keterpurukannya, ia berkata dengan sedih, "Aku
tak bisa melakukan ini, Sam."
Dan kemudian sambil menangis, Sam menjawab:
"Aku tahu. Semua ini salah. Seharusnya kita tak berada
disini. Tapi kita disini."
Sam melanjutkan perkataannya lagi :
"Ini seperti dalam kisah-kisah hebat, Tuan Frodo. Kisah
yang sungguh penting. Penuh dengan kegelapan dan bahaya. Terkadang kau tak
ingin tau akhir ceritanya. Karena bagaimana mungkin akan berakhir bahagia?
Bagaimana mungkin dunia akan kembali seperti sediakala saat banyak hal buruk
terjadi. Tapi pada akhirnya, hal itu hanya sesuatu yang melintas, bayangan ini,
bahkan kegelapan sekalipun pasti berlalu. Hari baru akan datang. Ketika mentari
bersinar, cahayanya akan lebih terang. Kisah-kisah yang selalu kau ingat itulah
yang memiliki hikmah. Meskipun kau terlalu kecil untuk memahami alasannya. Tapi
kurasa Tuan Frodo, aku rasa aku paham. Kini aku tahu. Tokoh-tokoh dalam kisah
itu punya banyak kesempatan untuk kembali, hanya saja mereka tidak
melakukannya. Mereka terus maju, karena mereka meyakini sesuatu."
Didalam keputusasaannya Frodo bertanya pada Sam:
"Apa yang kita yakini, Sam?"
Dan Sam menjawab :
"Bahwa masih ada hal-hal baik di
dunia ini, Tuan Frodo.
Dan hal itu layak
diperjuangkan."
Yang membuat adegan ini begitu kuat bukan saja karena kejujuran emosi yang dihadirkan, serta terlihatnya sisi yang sangat manusiawi (seperti keraguan, kelelahan, ketakutan, harapan), tapi adegan ini juga somehow relate dengan kondisi dunia kita sekarang. Betapa disisi lain dunia sudah kacau, sangat gelap, dan sangat kejam namun diisi oleh orang-orang yang tetap kokoh berjuang dalam keyakinannya. Dan disisi dunia yang lain, lebih-lebih kacaunya, hanya saja terisi oleh orang-orang yang terlena. Yang ngga sadar betapa dekatnya kehancuran di depan mata. Tapi kembali lagi, adegan ini memiliki poin penting yang mengingatkan kita bahwa di tengah semua kekacauan itu, masih ada hal-hal baik yang patut diperjuangkan. Masih ada kebaikan, meski kecil. Masih ada keberanian. Masih ada harapan.
Dalam hidup, sudah pasti kan ya ada beban yang harus kita pikul, entah itu luka masa lalu, kegagalan, tekanan hidup, atau situasi yang membuat kita merasa kecil dan ngga berdaya. Ada saat-saat dimana kita mau nyerah aja, hidup gagal banget, menyentuh fase terendah. Dan garis bawahi titik rendah tiap orang itu berbeda-beda, so let it be. Tapi di titik-titik terendah itu, kisah Sam menjadi penting. Kisah si Sam ini nunjukin bahwa kekuatan bukan cuma milik mereka yang terlihat hebat. Kadang, justru yang paling kuat adalah mereka yang diam-diam bertahan. Yang milih tetap percaya, yang tidak pernah pergi meskipun tidak diminta untuk tinggal. Mereka yang mungkin tak pernah disebut sebagai pahlawan, tapi tanpanya, cerita ngga akan pernah sampai di titik akhir.
Di perjalanan mereka selanjutnya menuju Mordor, Sam berjalan dibelakang Frodo sambil menceritakan tentang kehebatan Frodo dalam petualangan mereka ini, namun Frodo menoleh dan memandang Sam dengan sedih, kemudian berkata :
"Kau melewatkan salah satu tokoh utamanya. Samwise Sang
Pemberani. Frodo tak akan pernah mencapai sejauh ini tanpa Sam."
Begitulah dalam perjalanan, kadang ngga selalu kita yang menjadi pahlawan utama. Terkadang, seperti Frodo, kita hanya bisa terus berjalan karena ada "Sam" di sisi kita, mereka yang diam-diam menopang, menguatkan, dan tak pernah menyerah pada kita, bahkan saat kita menyerah pada diri sendiri. Dan mungkin, dalam hidup ini, kita tidak selalu tahu peran kita. Kita tak selalu jadi Frodo, atau Aragorn, atau Gandalf. Tapi mungkin, ada saat kita pernah menjadi Sam bagi seseorang. Atau mungkin, seseorang pernah menjadi Sam bagi kita. Yang paling penting lagi, bahwa harapan itu nyata, bahwa kebaikan, sekecil apa pun, adalah sesuatu yang selalu layak untuk diperjuangkan.
Kisah si Sam juga mengingatkan kita bagaimana
seorang teman bisa sangat mempengaruhi terhadap bagaimana kita bersikap,
merasakan, berpikir, bahkan mengambil keputusan. I think that's why our
Prophet Muhammad ﷺ warned us to
be careful in choosing friends.
Di akhir cerita, bisa jadi kita sendiri bukan lagi orang yang sama seperti diri kita di awal cerita, dan itu tidak apa-apa.
Ruang suntuk, 15 Juni 2025
TTD
Si-Paling-Pengen-Nyerah-Tapi-Ngga-Nyerah2